Selasa, 14 Desember 2010

Contoh Suku di Indonesia


Suku Togutil di Pulau Halmahera


Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.
Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
“Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.

MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI

Menurut hasil penelitian , jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :
1.      Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.
2.      Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).
3.      Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).
Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.
Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba.
Orang-orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.
Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui secara pasti.
Dalam buku “De Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :
1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya pungutan Balasting.
2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun 1927.

HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL
Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju.
Orang-orang suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka.
Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika).
Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.
Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.
Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan kelelawar.
Bagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berbuiru maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.
Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa diri si “beradab” ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka.

Suku Waktu Telu / Sasak
Orang Sasak adalah sebagian besar masyarakat yang ada di Pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Walaupun mereka hidup di seluruh pulau, yang paling padat penduduknya adalah daerah pusat subur sawah wilayah selatan Gunung terkenal Rinjani.In terakhir ahli antropologi Sasak orang yang dipisahkan menjadi dua kelompok: Waktu Lima dan Waktu Telu. Waktu yang lebih Lima tinggal di dataran pusat dan cenderung berada di dekat jalan dan pusat-pusat perdagangan. Waktu Telu yang tinggal di desa-desa terpencil di selatan dan di pegunungan dari barat laut, utara dan timur Lombok.For tahun, Lombok dibagi menjadi beberapa bermusuhan Sasak princedoms. Hal ini mengakibatkan rebutan dari Bali Lombok, yang mengurangi Sasak untuk penghambaan. Pada 1894, Belanda yang liberated Sasak dari Bali. Bersejarah ini dendam antara Bali dan orang Sasak tetap untuk hari ini. Beberapa divisi juga antara jelas kehormatan mulia dan kelas kelas yang lebih rendah dari orang biasa.
Apakah keterampilan mereka ?
Untuk para pemula yang awalnya Sasak orang dapat tampil agresif dan keras, tetapi setelah Anda adalah teman Anda akan merasakan keramahan dan keterbukaan mereka. Mereka adalah orang terutama pertanian, tetapi juga terlibat dalam berburu, memancing, dan membuat kerajinan. Beberapa desa sangat terampil dalam menenun atau membuat tembikar. Banyak dari produk ini dijual ke wisatawan atau diekspor ke negara-negara Barat. Peningkatan jumlah Sasak adalah mencari pekerjaan di kota-kota besar dari Lombok, Bali, Jawa Timur, dan Kalimantan dan di dekat negara Southeast Asia.The standar moral dan etika dari orang Sasak disebut tindih. Mereka mencoba untuk melindungi mereka standar tinggi solid persahabatan dan benar etiket dalam sistem keluarga, orang tua dan menghormati mereka benar memperhatikan tata krama ketika mengunjungi rumah lainnya. Dalam mencari jodoh, banyak Sasak mengikuti kebiasaan Favorite-lari, jenis pelarian untuk kawin di mana seorang wanita yang rela "abducted" dan disembunyikan. Orang kemudian memulai perkawinan negosiasi dengan keluarga perempuan. Resmi upacara pernikahan berikut segera setelah negosiasi.
Apa kepercayaan ?
Mayoritas Sasak adalah Muslim. Proporsional, banyak melakukan Sasak panjang dan mahal kewajiban Haj (haji) di Mekah setiap tahun. Banyak akan menyimpan uang untuk beberapa dekade atau menjual tanah pertanian atau mobil untuk perjalanan ini mampu. Setelah kembali peziarah ini akan kehormatan mereka dalam keluarga dan desa untuk sisa mereka lives.By dan besar, Sasak orang masih menghormati tempat sakral seperti gravesites populer pemuka agama dan Gunung Rinjani di mana tuhan Anjani dianggap penguasa. Banyak Sasak juga memuja roh-roh leluhur mereka dan roh yang tinggal di hutan, gunung dan sungai.

Apakah kebutuhan mereka ?
Meskipun Sasak tinggal di sebuah pulau dengan pemandangan yang sangat subur tanah dan curah hujan cukup mereka masih miskin. Mereka berada di besar kebutuhan medis keahlian pendidikan dan kesehatan masyarakat karena telah Lombok sangat tinggi angka kematian bayi dan ibu birthing. Ada juga kebutuhan untuk pengembangan pariwisata dan pelatihan keterampilan, sehingga dapat memenuhi Lombok potensi besar untuk pariwisata.


Suku Tengger
Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.
Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu ”Teng” akhiran nama Roro An-”teng” dan ”ger” akhiran nama dari Joko Se-”ger”.
Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Suku Baduy
Orang kanekes atau disebut juga Baduy, adalah suatu kelompok masyarakat dengan Adat sunda yang berlokasi di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Awal mula sebutan baduy tersebut adalah sebutan yang diberikan oleh penduduk luar, yang berawal dari peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah).
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan.



Suku Asmat
Suku asmat adalah sebuah suku di papua. suku asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Ada banyak pertentangan di antara desa asmat. yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai suku asmat membunuh musuhnya. ketika musuh bunuh, mayatnya dibawa kekampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggal kepalanya. otaknya dibunngkus daun sago dan dipanggang kemudian dimakan.
suku asmat meiliki cara yang sangat sederhana untukmerias diri mereka. mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh.

Suku Asmat pada dasarnya adalah bangsa pemburu dan mengumpulkan makanan mereka dengan mengambil tepung dari pohon sagu, dengan memancing atau secara berkala berburu babi hutan, kasuari dan buaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar